Resep Kaya Dunia Akhirat ala Abah Guru Sekumpul (Part. I)

Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu arti dari kata kaya adalah “mempunyai banyak harta (uang dsb)” misalnya kata “kaya” yang ada pada ungkapan “Baginya tua muda, besar kecil, kaya miskin semuanya sama”.

Istilah Arab, kata “kaya” ditranslate menjadi kata “al-Ghina”, berakar pada kata “Ghaniya – Yughni – Ghinan / Ghana’an”  yang tumbuh dari dari bibit “Ghain – Nun – Ya”. Kata “Ghina bisy-Sya_i ‘an Ghairih” diterjemahkan dengan “cukup, tidak memerlukan yang lain lagi”. Ism fa’il dari kata “al-Ghina” adalah “al-Ghani” diantara artinya adalah “yang kaya, yang bebas, yang tidak membutuhkan”. Dari susunan tiga huruf tersebut tumbuh pula kata “Ghanna” yang berarti “rindang” seperti pada kata “Tarim al-Ghanna” atau “Kota Tarim yang rindang”.

Sementara kalau kita buka kamus Bahasa Inggris, kata kaya diterjemahkan dengan “rich”. “Riches” berarti “kekayaan, berharga, beraneka (misal riches of color)”. Kata rich kemudian berkembang maknanya menjadi “mewah” misal ungkapan “His house is richly furnished” yang kalau kita terjemahkan “rumahnya dilengkapi dengan furnitur mewah”.

Dari tiga bahasa tersebut, kata yang lebih padan adalah Inggris dengan Indonesia, sama-sama memakai istilah pada sesuatu yang sifatnya materi, yaitu “banyak, beraneka dan mewah”. Sedangkan dalam istilah Arab, kata menjadi berkembang menjadi tidak hanya sekedar “memiliki banyak” tapi lebih menekankan pada “bebas, tidak membutuhkan” bahkan “rindang”. Dengan demikian, bisa kita asumsikan (perlu penelitian lebih serius) kalau kekayaan dalam istilah orang Arab lebih cenderung kepada non materi, yaitu pada sifat. Meskipun hanya memiliki sedikit namun sudah merasa cukup dan tidak memerlukan yang lain lagi sudah bisa disebut “al-Ghani” dalam istilah Arab. Sebaliknya, bila selalu merasa kurang, maka belum masuk dalam kategori “al-Ghani”. Bahkan lebih jauh lagi, “al-Ghani” semestinya membuahkan  “al-Ghanna” yaitu rindang dan mampu menaungi orang lain (berbagi). Bukanlah yang bernama “Ghina” itu banyaknya memiliki harta, tapi yang bernama “Ghina” itu adalah “diri yang merasa cukup / ghinan nafs”, demikian yang ditekankan Rasulullah Shalallahu ‘alaih wa sallam.

Dari tiga bahasa diatas, terus terang saya lebih setuju dengan pemaknaan orang Arab, terutama bila kita mengaitkannya dengan sabda Rasul. Tanpa ada rasa cukup, berapapun jumlah yang kita punyai, rasanya sulit untuk berbagi. Tanpa ada rasa “bebas” dan “tidak tergantung” seberapa mewah apapun yang kita miliki, hanya akan menambah ketidaktenangan hati. Apa artinya rumah dan mobil mewah bila ternyata membelenggu hati. Apa artinya tumpukan rupiah atau dolar bila selembar saja hilang membuat kita setengah mati.

Namun, tidak ada salahnya kalau kita memadukan semua makna dari “kekayaan” tersebut, yaitu memiliki banyak, beraneka dan tidak membelenggu. Bila sudah demikian, tak akan ada beban untuk selalu berbagi.

Bagaimana caranya sukses dunia akhirat ala Abah Guru Sekumpul..??